Profil ISAC

ASSALAMU ALAIKUM WR WB.
BLOG INI DICIPTAKAN OLEH PARA PENGGEMAR FALAK KOTA BATU ( CIKAL BAKAL ISAC-ISLAMIC ASTRO CLUB - BATU ) .
TERBUKA BAGI SIAPA SAJA ATAU SEMUA MUHASIB FALAKIYAH YANG INGIN BERDAKWAK DAN MENJADI KONTRIBUTOR POSTING.
SYARAT MENJADI KONTRIBUTOR POSTING :
1. AGAMIS
2. TIDAK MEMECAH BELAH UMAT
3. TIDAK PROVOKATIF TERDAHAP KELOMPOK DAN ORGANISASI LAIN
4. BUKAN UNGKAPAN KEBENCIAN TERHADAP KELOMPOK ATAU ORGANISASI LAIN

Kamis, 20 Januari 2011

HISAB ARAH KIBLAT DAN APLIKASINYA

Oleh : Saiful Hikmah, S.Ag

A. PENDAHULUAN

Secara bahasa, kata al-Qiblah (kiblat) berarti arah, yang dalam bahasa latin disebut azimut. Yang dimaksud dengan arah kiblat adalah Ka’bah

والقبلة فى اللغة : الجهاد والمراد هنا الكعبة

Artinya : Dan kiblat dalam bahasa Arab berarti arah, yang dimaksud di sini adalah Ka’bah (Muhammad al-Katib Asy-Syarbini)

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Kiblat diartikan sebagai bangunan Ka’bah atau arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah.

Salah satu ibadah yang sangat urgen yang wajib menghadap ke kiblat adalah shalat. Dalam Fiqh as-Sunnah disebutkan beberapa syarat shalat adalah :

1. Mengetahui tentang masuknya waktu

2. Suci dari hadats kecil dan besar

3. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis

4. Menutup aurat

5. Menghadap kiblat

B. HUKUM MENGHADAP KIBLAT

Sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah, belum ada ketentuan Allah tentang kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang sedang mengerjakan shalat. Rasulullah sendiri menurut ijtihadnya, dalam melaksanakan shalat selalu menghadap ke Baitul Maqdis. Hal ini dilakukan karena kedudukan Baitul Maqdis saat itu masih dianggap yang paling istimewa dan Baitullah masih dikotori oleh beratus-ratus berhala yang mengelilinginya.

Demikian pula setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, beliau shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah 16 atau 17 bulan, dimana kerinduan beliau telah memuncak untuk menghadap ke Baitulah yang ketika itu sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang kafir Makkah, maka turunlah firman Allah yang memerintahkan berpaling ke Masjidil Haram yang sangat dinanti-nantikan oleh Rasulullah Saw.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فىِ السَّمَاءِ, فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا, فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ …

“Sesungguhnya Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada palingkanlah mukamu kearahnya. …”. (QS. Al-Baqarah : 144).

Dalam surat al-Baqarah : 150, Allah juga berfirman :

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اْلمَسْجِدِ اْلحَرَامِ, وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهُ.

“Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkan mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…”.

Pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, Rasulullah Saw juga bersabda:

إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة وكبر.

“Bila kamu hendak mengerjakan shalat, hendaklah menyempurnakan wudhu kemudian menghadap kiblat lalu takbir”.

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW tersebut, para ulama sepakat bahwa orang yang mengerjakan shalat itu wajib menghadap kiblat.

GUGURNYA KEWAJIBAN MENGHADAP KE KIBLAT

Ibadah yang wajib menghadap kiblat antara lain : shalat wajib, shalat sunnah, shalat jenazah, sujud syukur dan sujud tilawah. Namun kewajiban menghadap kiblat itu menjadi gugur dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Shalat sunat bagi orang yang berkendaraan

Dibolehkan bagi orang yang berkendaraan melakukan shalat sunat di atas kendaraannya, ruku’ dan sujud dengan isyarat kepala. Hendaknya sujudnya itu lebih rendah dari pada ruku’nya, sedang kiblatnya mengikuti arah kendaraan. Dari Amir bin Rabi’ah, katanya :

رأيت رسول الله ص م. على راحلته حيث توجهت به (رواه البخارى ومسلم)

“Saya melihat Rasulullah SAW shalat di atas kendaraan menuruti arah kendaraan itu” (HR. Bukhori dan Muslim). Imam Bukhori menambahkan memberi isyarat dengan kepala, tapi demikian itu tidak dilakukannya pada shalat-shalat fardlu.

2. Shalat bagi orang yang dipaksa, dalam keadaan sakit dan ketakutan.

Orang yang dalam ketakutan, dipaksa dan sakit, boleh shalat tanpa menghadap kiblat, bila mereka tak mampu untuk menghadapnya. Firman Allah :

فإن خفتم فرجالا او ركبانا.

“Jika kamu takut, maka boleh dalam keadaan jalan kaki atau berkendaraan” (QS. al-Baqarah: 239)

C. TATACARA MENGHADAP KIBLAT

Bagi orang yang melihat Ka’bah, wajib menghadap Ka’bah itu sungguh-sungguh (Ainul Ka’bah), bagi yang tinggal di kota Makkah, kiblatnya adalah Masjidil Haram, sedang bagi yang tingggalnya jauh dari Makkah, maka kiblatnya adalah menghadap ke arah kota Makkah. Sabda Nabi SAW :

“Ka’bah kiblat bagi ahli Masjidil Haram, Masjidil Haram kiblat bagi penduduk (ahli) Makkah, dan Makkah kiblat bagi penduduk dunia Timur dan Barat dari umatku”. (HR. Baihaqi).

Yang dimaksud dengan Ka’bah adalah bangunan Ka’bah beserta arah ke atas dan ke bawahnya.

D. UNSUR-UNSUR PENENTUAN ARAH / AZIMUT KIBLAT

Untuk menentukan besarnya azimut kiblat, maka unsur-unsur yang harus diketahui adalah:

1. Lintang Tempat/Urdhul Balad

Lintang tempat adalah Jarak suatu daerah/tempat diukur dari khatulistiwa ke tempat dimaksud (diukur ke Utara atau ke Selatan) dengan memakai ukuran derajat, menit dan detik

Khatulistiwa adalah lintang 0˚ (nol derajat), sedang titik kutub bumi (kutub selatan/kutub utara adalah lintang 90˚. Jadi nilai lintang berkisar antara 0˚ sampai 90˚, di sebelah selatan khatulistiwa disebut lintang selatan (LS) dan diberi tanda negatif (-), sedang di sebelah utara khatulistiwa disebut lintang utara (LU) dan diberi tanda positif (+).

2. Bujur Tempat/Thulul Balad

Bujur tempat adalah jarak dari tempat dimaksud ke Garis Bujur yang melalui kota Greenwich dekat London.

Kota Greenwich adalah Bujur 0˚ di sebelah timur kota Greenwich sampai 180˚ disebut bujur Timur (BT) dan diberi tanda positif (+), sedang di sebelah barat kota Greenwich sampai 180˚ disebut Bujur Barat (BB) dan diberi tanda negatif (-). 180˚ Bujur Timur berimpit dengan 180˚ Bujur Barat yang melalui Selat Bering dan Lautan Alaska. Garis Bujur 180˚ ini dijadikan pedoman pembuatan Garis Batas Tanggal Internasional (International Date Line).

3. Letak Geografis (Lintang dan Bujur Tempat) Ka’bah

Pada tahun 1972, Departemen Agama menugaskan H. Saadoeddin Djambek untuk melakukan penelitian pengembangan Hisab Rukyat dan Kehidupan Sosial di tanah Suci Makkah. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh beliau, diketahui bahwa letak geografis Ka’bah adalah 21˚ 25’ LU, dan 39˚ 50’ BT.

E. RUMUS ARAH / AZIMUT KIBLAT

Ada beberapa rumus untuk menghisab dan menentukan arah kiblat, antara lain menggunakan rumus Cosinus rumus Sinus sebagai berikut:

Keterangan:

Q = Arah Kiblat suatu tempat

a = 90˚ - Lintang Tempat

b = 90˚ - Lintang Ka’bah

C = Bujur tempat – Bujur Makkah

Contoh Perhitungan :

Hitunglah arah kiblat Kota Batu, jika diketahui:

Lintang Tempat (φ) = -7˚ 42’ LS

Bujur Tempat (λ) = 112˚ 32’ BT

a = 90˚ - (-7˚ 42’) = 97˚ 42’

b = 90˚ - 21˚ 25’ = 68˚ 35’

C = 112˚ 32’ - 39˚ 50’ = 72˚ 42’

Ket : Hasil tersebut merupakan hasil perhitungan dari barat ke utara. Jika akan menggunakan kompas, maka ditambah 270°, dan hasil tersebut merupakan arah kiblat. yang sebenarnya. (270° - 24° 10' 21.52" = 294° 10' 21.52")

F. TEKNIK PENGUKURAN ARAH KIBLAT

Apabila azimut kiblat sudah diketahui, maka untuk mendapatkan penunjuk arah kiblat yang riil perlu diaplikasikan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu antara lain :

1. Menggunakan tongkat istiwa’

Tongkat istiwa’ adalah sebuah tongkat yang ditancapkan tegak lurus pada bidang terbuka. Kegunaan tongkat ini antara lain untuk menentukan arah mata angin, misalnya titik utara. Dengan diketahui titik utara dan diketahui pula azimut kiblat, maka tinggal menghitung mulai dari titik utara ke barat sebesar azimut kiblat suatu tempat (360° - 294° 10' 21.52" = 65° 49' 38.48"). Cara ini cukup mudah, murah dan hasilnya sangat akurat. Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut :

a. Tancapkan sebuah tongkat lurus pada sebuah pelataran datar. Misalnya panjang tongkat 30 cm, diameter 1 cm. Ukurlah dengan lot dan waterpas, sehingga pelataran betul-betul datar dan tongkat tegak lurus terhadap pelatran.

b. Buatlah sebuah lingkaran berjari-jari sekitar 20 cm pada pelataran tersebut yang berpusat pada pangkal tongkat.

c. Amati dengan teliti bayang-bayang tongkat beberapa jam sebelum tengah hari sampai sesudahnya. Semula tongkat akan mempunyai bayang-bayang panjang menunjuk ke arah barat. Semakin siang bayang-bayang semakin pendek lalu berubah arah sejak tengah hari. Kemudian semakin lama bayang-bayang akan semakin panjang lagi menunjuk ke arah timur. Dalam perjalanan seperti itu, ujung bayang-bayang tongkat akan menyentuh lingkaran dua kali pada dua tempat, yaitu sebelum tengah hari dan sesudahnya. Kedua sentuhan itu diberi tanda lalu hubungkan keduanya dengan garis lurus. Garis tersebut merupakan garis arah barat-timur secara tepat.

d. Setelah diketahui arah barat-timur, maka buatlah garis tegak lurus kearah utara-selatan. Setelah itu hitunglah/ukurlah dari titik utara ke barat sebesar azimut kiblat suatu tempat, berilah titik, garislah dari titik itu menuju pusat lingkaran. Garis itu menuju ke arah kiblat secara akurat.

2. Menggunakan segitiga siku

a. Setelah diketahui arah utara selatan yang sejati, maka buatlah garis sepanjang 100 cm (garis AB pada gambar dibawah).

b. Dari titik B, dibuat garis tegak lurus ke barat

c. Dengan menggunakan perhitungan geniometris, misalnya arah kiblat untuk kota Batu (65° 49' 38.48" = utara ke barat) = tangen 65° 49' 38.48" x 100 cm, maka akan diketahui panjang garis yang mengarah ke barat, yaitu 223 cm (garis BC)

d. Kemudian kedua ujung garis lurus yang slaing berpotongan tegak lurus itu, yaitu titik A dan titik C dihubungkan satu sama lain, menjadi garis AC. Garis AC inilah merupakan arah kiblat Kota Batu.



C















224 cm




65° 50'








A

B



3. Menggunakan busur

a. Setelah diketahui arah utara selatan yang sejati, maka letakkanlah busur searah dengan garis utara selatan tersebut.

b. Butalah garis lurus dari titik tengah garis busur ke arah 65° 49' 38.48" = utara ke barat

c. Maka garis tersebut merupakan arah kiblat untuk Kota Batu

4. Menggunakan kompas

Penunjuk arah oleh jarum kompas tidaklah selalu mengarah ke titik utara sejati (true north) pada suatu tempat. Hal ini disebabkan kutub magnet tidak berhimpit dengan kutub bumi atau kutub geografis. Semakin baik kualitas kompas, maka semakin kecil pengaruh magnetnya. Penyimpangan ini disebut dengan besarnya deklinasi magnet. Untuk deklinasi magnet daerah jawa timur besarnya sekitar ± 1°.

Jadi, azimut kiblat untuk Kota Batu setelah diukur dengan kompas (karena pengaruh deklinasi magnet) adalah 65° 49' 38.48" + 1° = 66° 49' 38.48" diukur dari titik utara ke barat.

5. Menggunakan bayang-bayang kiblat

Yang dimaksud dengan bayang-bayang kiblat adalah bayang-bayang matahari terhadap suatu benda yang tegak lurus pada saat tertentu di daerah tertentu pula yang menunjuk dan mengarah ke kabah.

Adapun cara mencari saat terjadinya sebagai berikut :

a. Carilah jam deklinasi yang nilai lintang ka’bahnya sama atau mendekati dengan 21° 25' LU

b. Lihat meridian passing jam tersebut pada almanak nautika atau pada Ephimeris

c. Hitunglah selisih bujur WIB (105° BT) dengan bujur ka’bah (39° 50' BT) = 65° 10' kemudian bagikan dengan 15 untuk dikonversikan menjadi jam = 4 jam 20 menit 0 detik

d. Hasil dari penjumlahan antara meridian passing dan selisih bujur merupakan saat dimana matahari berada di atas (zenith) ka’bah.

e. Kejadian ini terjadi pada tanggal 27 Mei dan 15 Juli untuk tahun kabisat serta 28 Mei dan 16 Juli untuk tahun basitah.

Contoh:

Tanggal 28 Mei 2006

Data :

Deklinasi matahari pada jam 02 GMT = 21° 25' 03"

Equation of time = 2' 48"

Meridian passing (12-E) = 12 2' 48" = 11° 57' 12"

Selisih bujur WIB dengan ka’bah = 04° 20' 40" +

Rumus :

Bayang Ka’bah = Meridian passing + Selisih WIB

Meridian passing = 11° 57' 12"

Selisih bujur WIB dengan ka’bah = 04° 20' 40" +

Pukul 16:17:52 WIB

Jadi pada tanggal 28 Mei 2006, bayang matahari yang mengarah tepat ke Ka’bah terjadi pada pukul 16:17:52 WIB

ILMU FALAK*)

Oleh : SAIFUL HIKMAH, SAg.**)

PENDHULUAN

Penghitungan kalender Hijriyah didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, sistem kalender ini dinamakan pula Kalender Qamariyah. Penamaan kelender ini dengan Kalender Hijriyah karena penghitungan tahunnya di mulai saat terjadinya hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

Peredaran bulan memang merupakan ukuran waktu yang sangat teratur dan mudah dikenal, karena, untuk setiap hari, bulan itu menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang berbeda yang disebut dengan fase-fase bulan. Pada awal bulan, bulan menampakkan dirinya sebagai bulan sabit (hilal), kemudian membesar pada pertengahan bulan, akan nampak bulan purnama (Badr), kemudian ia mengecil lagi pada akhir bulan dan akan nampak bagaikan bulan sabit kembali.

Tenggang waktu peredaran bulan ada dua jenis, hal ini disebabkan karena bulan di samping beredar mengelilingi bumi, ia juga bersama-sama bumi mengelilingi matahari. Dua jenis peredaran tersebut adalah :

1. Siderial Month (waktu peredaran sideris, al-Syahr al-Nujum), yaitu tenggang waktu yang diperlukan bulan untuk satu kali beredar relatif terhadap sebuah bintang. Tenggang waktu yang diperlukan untuk peredaran sideris ini rata-rata 29 hr, 12 jam, 43 mnt, 11.5 dtk (hampir 29 1/3 hari).

2. Synodis Month (waktu peredaran sinodis, Al-Syahr al-Iqtiraniy), yaitu tenggang waktu yang diperlukan oleh bulan untuk satu kali beredar relatif terhadap matahari. Dengan kata lain, waktu yang diperlukan oleh bulan untuk mengorbit bumi sejak “bulan baru” (konjungsi, ijtima’) hingga bulan baru berikutnya. Tenggang waktu yang diperlukan untuk peredaran sinodis ini rata-rata 29 hr, 12 jam, 14 mnt, 02.8 dtk (lebih dari 29 1/2 hari).

Waktu peredaran sinodis bulan inilah yang dipergunakan utnuk menetapkan penghitungan dalam sistem kalender hijriyah.

Secara teoritis, waktu yang ditempuh oleh bulan dalam peredaran sinodisnya adalah 29 hr, 12 jam, 43 mnt, 02.8 dtk, namun kenyataannya waktu yang diperlukan bulan dalam peredaran sinodisnya tidaklah sama. Hal ini disebabkan oleh percepatan peredaran bulan mengelilingi bumi dan bersama-sama bumi mengelilingi matahari tidak konstan. Di samping itu, juga dipengaruhi oleh adanya gaya tarik dari planet-planet dan benda-benda langit lainnya yang mempengaruhinya.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa perhitungan waktu menurut sistem kalender hijriyah/qamariyah ditetapkan berdasarkan pada peredaran sinodis bulan dalam setiap bulan dan apabila telah terlewati 12 bulan, barulah dikatanakan satu tahun. Dengan demikian, berbeda dengan sistem penghitungan kalender masehi/syamsiyah yang penetapan awalnya adalah untuk setiap tahun, kemudian dipecah menjadi 12 bulan.

ANGGARAN KALENDER HIJRIYAH

Dalam sistem hisab urfi, dikatakan demikian karena penghitungannya didasarkan pada peredaran rata-rata bulan, bukan pada peredaran yang sebenarnya. Terdapat anggaran-anggaran yang dijadikan pedoman, yaitu :

1. Tahun pertama ditetapkan pada tahun terjadinya hijrah nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.

2. Satu tahun terdiri atas 12 bulan, yaitu Muharram, Safar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Ula, Jumadis Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadlan, Syawal, Zul Qaidah dan Zul Hijjah.

3. Tanggal 1 Muharram 1 H jatuh pada hari kamis bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 M. ada pula pendapat yang mengatakan pada hari Jum’at tanggal 16 Juli 622 M.

4. Umur satu tahun Hijriyah rata-rata 354 hari 08 jam 48 mnt 33.6 dtk, atau dibulatkan menjadi 354 11/30 hari.

5. Untuk mengatasi kelebihan 11/30 hari tersebut, maka dibuatlah daur/siklus yang lamanya 30 tahun. Dalam 1 daur tersebut ditetapkan 11 kali tahun kabisat dan 19 kali tahun basithah. Tahun kabisat ditetapkan umurnya 355 hari dan tahun basithah 354 hari, sehingga jumlah hari dalam satu daur terdiri atas 10.631 hari.

6. Tahun kabisat terletak pada deretan tahun ke2,5,6,10,13,15,(16),18,21,24,26 dan 29, sebagaimana tersimpul pada huruf-huruf dalam syair :

كف الخليل كفه ديانه # عن كل خل حبه فصانه.

7. Kelebihan 1 hari dalam tahun kabisat tersebut dimasukkan ke dalam bulan ke-12 (Zul Hijjah).

8. Umur bulan ganjil ditetapkan 30 hari, sedangkan umur bulan genap ada 29 hari, sehingga jumlah keseluruhan dalam 1 tahun ada 354 hari, kecuali dalam tahun kabisat, jumlah harinya 355 hari, karena bulan ke-12 (Zul Hijah) yang dalam tahun basithah berumur 29 hari, dalam tahun kabisat menjadi 30 hari.

Untuk menjelaskan unur bulan dan jumlah hari pada setiap akhir bulan dapat dilihat tabel berikut :

No.

Bulan

Umur bulan

Jumlah hari

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Muharram

Safar

Rabi’ul Awwal

Rabi’ul Alhir

Jumadil Ula

Jumadil Tsaniyah

Rajab

Sya’ban

Ramadlan

Syawal

Zul Qaidah

Zul Hijjah

30

29

30

29

30

29

30

29

30

29

30

29/30

30

59

89

118

148

177

207

236

266

295

325

354/355

Penentuan tiap tanggal satu bulan baru menurut sistem hisab urfi ini sama sekali tidak menghiraukan kedudukan bulan di langit pada saat itu, asal jumlah hari pada bulan sebelumnya telah selesai menurut aturan-aturan yang telah ada, maka segeralah dimulai tanggal 1 bulan baru. Karena itulah, hisab urfi ini tidak boleh dipakai untuk kepentingan ibadah (agama).

KALENDER SYAMSIYAH/MASEHI

Perhitungan kalender masehi ini didasarkan pada peredaran semu tahunan matahari. Peredaran semu tahunan matahari mulai dari suatu titik pangkal hingga kembali ke titik pangkal itu lagi disebut satu tahun. Untuk menentukan lama waktu dalam satu tahun tersebut tergantung pada titik pangkal yang dipergunakan.

Dalam dunia astronomi dikenal adanya dua jenis tahun yang berdasarkan peredaran semu tahunan matahari, yaitu sidereal year (tahun sideris, al-sannah al nujumiyah) dan tahun tropical year (tahun tropis, al-sannah as-syamsiyah). Satu tahun menurut tahun sideris adalah 365.25636 hari (365 hr 06 jm 09 mnt 10 dtk) sedangkan menurut tahun tropis adalah 365.242109 hari (365 hr 05 jam 46 mnt 46 dtk). Tahun tropis inilah yang dijadikan dasar perhitungan kalender masehi.

KALENDER YULIAN

Tahun tropis diperkenalkan pertama kali pada masa pemerintahan Julius Caesar (45 SM). Atas nasehat seorang ahli astronomi Greek, Sosigenes, Julius Caesar membuat perhitungan kalender yang berdasarkan pada tahun tropis dengan ketentuan :

1. Satu tahun ditetapkan rata-rata 365.25 hari.

2. Tahun basithah (common year) berjumlah 365 hari.

3. Tahun kabisat (Leap year) yaitu bilangan tahun yang habis dibagi empat berjumlah 366 hari. Penembahan satu hari ini dimasukkan dalam bulan Pebruari.

4. 1 Daur/siklus tahun ini selam 4 tahun, dengan jumlah hari 1.461 hari.

5. Permulaan tahun ditetapkan tanggal 1 Januari dengan urutan bulan dan lama harinya seperti kalender masehi yang ada sekarang.

6. Titik permulaan musim bunga (Aries) pada saat ditetapkan kalender ini jatuh pada tanggal 25 maret.

7. Bulan ke-5 (Quintilis) dirubah namanya menjadi Juli, sedangkan bulan ke-6 (Sextilis) menjadi Agustus.

8. Untuk keperluan hari permulaan 1 Januari tahun 45 SM, maka tahun 46 SM diperpanjang menjadi 445 hari. Tahun ini kemudian dikenal dengan istilah The Last Years of Confusion”.

Kalender yang diciptakan oleh Julius Caesar tersebut dengan ketentuan tiap-tiap tahun dihitung rata-rata 365.25 hari masih menimbulkan perbedaan dengan tahun tropis sebanyak 0.007801 hari (365.242199 hari) yakni 11 s.d 14“ tiap tahun. Pada tahun 325 M. sewaktu diadakan rapat Dewan Gereja (Konsili I) di Necaea, perbedaan itu telah menempuh 4 hari. Titik permulaan musim bunga yang semula jatuh pada tanggal 25 Maret, pada saat konsili itu jatuh pada tanggal 21 Maret.

KALENDER GREGORIAN

Sistem kalender Yulian terus berlanjut, hingga pada tahun 1582 M. seorang astronom, Clavius dalam hitungannya untuk menentukan hari paskah menjumpai ketidakcocokan. Sebab pada tahun tersebut titik aries jatuh pada tanggal 11 Maret. Dengan demikian sudah berbeda selama 10 hari dengan yang ditetapkan oleh Julius Caesar (tanggal 25 Maret). Untuk mengatasi hal ini, oleh Paus Gregorius XIII diadakan perubahan. Pada hari kamis tanggal 4 Oktober 1582 M, dalam dekritnya, Paus Gregorius XIII menentukan bahwa esok harinya, Jum’at tidak disebut tanggal 5 Oktober 1582 M, tetapi tanggal 15 Oktober 1582 M. kalender hasil perubahan yang dilakukan oleh Paus Gregorius XIII itu dikenal dengan kalender Gregorian.

Di samping perubahan di atas, Gregorius juga menetapkan anggaran baru yaitu bahwa bilangan abad yang tidak habis dibagi empat ditetapkan sebagai tahun bashithah (365 hari), padahal menurut kalender Julian, abad adalah tahun kabisat (366 hari). Dengan demikian jumlah hari rata-rata dalam satu tahun menurut kalender Gregorian adalah 365.2425 hari, sedangkan menurut sistem kalender Julian adalah 365.25 hari, sehingga terjadi selisih 0.0075 hari pertahun. Ini akan menjadi 3 hari dalam waktu 4 abad.

Perbedaan 3 hari tersebut sebagai konsekuensi dari perhitungan 365.25 x 400 = 146.100 hari. Sedangkan menurut sistem kalender Gregorian adalah 365.2425 x 400 = 146.097 hari. Untuk mengatasinya adalah dengan tidak menghitung tahun panjang (kabisat) pada bilangan abad yang tidak habis dibagi 4, misalnya abad 17, 18, 19, 21 dst.

Untuk menjelaskan umur masing-masing bulan dan jumlah harinya pada setiap akhir bulan dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

NNo.

Nama Bulan

Tahun Bashithah

Tahun Kabisat

Umur

Jml. Hari

Umur

Jml. Hari

1

Januari

31

31

31

31

2

Pebruari

28

59

29

60

3

Maret

31

90

31

91

4

April

30

120

30

121

5

Mei

31

151

31

152

6

Juni

30

181

30

182

7

Juli

31

212

31

213

8

Agustus

31

243

31

244

9

September

30

273

30

274

10

Oktober

31

304

31

305

11

Nopember

30

334

30

335

12

Desember

31

365

31

366


MEMINDAH TAHUN HIJRIYAH MENJADI TAHUN MASEHI

Tanggal 1 Ramadlan 1411 H. (1 Muharram 1 H bertepatan dengan 15 Juli 622 M).

I. Jumlah hari sejak 1 Muharram 1 H s.d 1 Ramadlan 1411 H

1410 : 30 = 47 Daur x 10.631 499.657 hari

1 Muharram 141 H s.d 29 Sya’ban 1411 H. 236 hari

1 Ramadlan 1411 H 1 hari

Jumlah 499.894 hari

II. Menentukan hari dan pasaran

499.894 : 7 = 71413, sisa 3, yakni hari Sabtu

499.894 : 5 = 99978, sisa 4, yakni hari Pon

III. Jumlah hari sejak 1 Januari 1 M s.d 1 Muharram 1 H.

621 : 4 = 155 daur 1 tahun

155 daur = 155 x 1461 hari = 226.455 hari

1 tahun = 1 x 365 hari = 365 hari

I Jan 622 s.d 14 Juli 622 M = 195 hari

Jumlah 227.015 hari

IV. Jumlah hari sejak 1 Januari 1 M s.d 1 Ramadlan 1411 H menurut kalender Masehi

1 Muh 1 H s.d 1 Ramadlan 1411 H = 499.894 hari

1 Jan 1 M s.d 14 Juli 622 M = 227.015 hari

Anggaran Gregorius XIII = 13 hari

Jumlah 726.922 hari

V. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Masehi

726.922 : 1.461 = 497 daur 805 hari

497 daur (497 x 4 tahun) = 1988 tahun

305 (2 tahun 75 hari) = 2 tahun

75 hari (2 bulan 16 hari) = 2 bulan

16 hari = 16 hari

16 Maret 1991 M

VI. Kesimpulan

Tanggal 1 Muharram 1411 H jatuh pada hari Sabtu Pon, tanggal 16 Maret 1991 H.


MEMINDAH TAHUN MASEHI MENJADI TAHUN HIJRIYAH

Tanggal 17 Agustus 1991 (1 Muharram 1 H bertepatan dengan hari Kamis Kliwon tanggal 15 Juli 622 M).

I. Jumlah hari sejak 1 Januari 1 M s.d 17 Agustus 1991 M.

1990 : 4 = 497 Daur 2 tahun

497 daur (497 x 1.461 hari ) = 726.117 hari

2 tahun (2 x 365 hari) = 730 hari

1 Januari s.d 17 Agustus 1991 = 229 hari

Jumlah 727.076 hari

Anggaran Gregorian 13 hari

Jumlah 727.063 hari

II. Menentukan hari dan pasaran

727.063 : 7 = 103.866, sisa 1, yakni hari Sabtu

727.063 : 5 = 145412, sisa 3, yakni hari Pahing

III. Jumlah hari 1 Muharram 1 H s.d 17 Agustus 1991 M..

1 Januari 1 M s.d 17 Agustus 1991 M = 727.063 hari

1 Januari 1 M s.d 1 Muharram 1 H = 227.015 hari

1 Muharram 1 H s.d 17 Agustus 1991 M Jumlah 500.048 hari

IV. Menentukan tanggal, bulan dan tahun Hijriyah

500.048 : 10.631 = 47 daur 391 hari

47 daur (47 x 30 tahun) = 1410 tahun

391 : 354 (1 tahun 37 hari) = 1 tahun

37 hari (1 bulan 7 hari) = 1 bulan

7 hari = 7 hari

7 Safar 1412 H

V. Kesimpulan

Tanggal 17 Agustus 1991 M jatuh pada hari Sabtu Pahing, tanggal 7 Safar 1412 H.


PENENTUAN HARI DAN PASARAN TAHUN MASEHI

I. Awal Tahun


II. Perubahan Tahun



Tahun

Rumus


Tahun

Rumus



Hari

Pasaran


Hari

Pasaran



1901

2

3


1

1

0



1905

0

4


2

2

0



1909

5

0


3

3

0



1913

3

1







1917

1

2


III. Perubahan Bulan


1921

6

3


Bulan

Rumus

1925

4

4


Bashithah

Kabisat

1929

2

0


Hari

Pasaran

Hari

Pasaran

1933

0

1


Januari

0

0

0

0

1937

0

2


Pebruari

3

1

3

1

1941

5

3


Maret

3

4

4

5

1945

36

4


April

6

0

0

1

1949

1

0


Mei

1

0

2

1

1953

6

1


Juni

4

1

5

2

1957

4

2


Juli

6

1

0

2

1961

2

3


Agustus

2

2

3

3

1965

0

4


September

5

3

6

4

1969

5

0


Oktober

0

3

1

4

1973

3

1


Nopember

3

4

4

0

1977

1

2


Desember

5

4

6

0

1981

6

3







1985

4

4


IV. Keterangan Rumus hari dan pasaran


1989

2

0


0 = Jum’at

0 =

Wage



1993

0

1


1 = Sabtu

1 =

Kliwon



1997

5

2


2= Ahad

2 =

Legi



2001

3

3


3 = Senen

3 =

Pahing



2005

1

4


4 = Selasa

4 =

Pon



2009

6

0


5 = Rabu





2013

4

1


6 = Kamis





2017

2

2







2021

0

3


V. Contoh





2025

5

4


1. Tentukan hari dan paaran untuk tanggal 1 Oktober

2029

3

0


1991 M.





2033

1

1



Tahun 1989, hari 2 ; pasaran 0

2037

6

2



Tahun 2, hari 2 ; pasaran 0

2041

5

3



Oktober 1, hari 0 ; pasaran 3


2045

2

4



1 Okt 1991, hari 4 ; pasaran 3


2049

0

0



Hari = 4 (Selasa) ; pasaran = 3 (Pahing)

2053

5

1


Dengan demikian, tanggal 1 Oktober 1991 M jatuh

2057

3

2


Pada hari Selasa Pahing

2061

1

3







2065

6

4


1. Tentukan hari dan paaran untuk tanggal 17 Agustus

2069

4

0


1991 M.





2073

2

1



Tahun 1989, hari 2 ; pasaran 0


2077

0

2



Tahun 2, hari 2 ; pasaran 0


2081

5

3



Agustus 1, hari 2 ; pasaran 2


2085

1

4



Tanggal 17 , hari 16 ; pasaran 16

2089

6

0



17 Ags 1991, hari 22 ; pasaran 18

2093

4

1


Jika dibagi 5 & 7, sisa = hari 1 ; pasaran 3

2097

2

2


Dengan demikian jatuh pada hari Sabtu Pahing



*) Makalah disampaikan pada kegiatan Pondok Ramadlan SMA Islam Batu, tanggal 29 September 2006

**) Kepala KUA Kec. Junrejo Kandepag Kota Batu